Artha Ratu Nauli

An over-thinker. Adventurer.
Graduated as Petroleum engineer.
Super random person you'll ever meet.

December 04, 2013

ITB (kali ini dari sudut FSRD)



gambarnya dari sini


Sebuah Tulisan Oleh Pandji Pragiwaksono, di 'NASIONAL.IS.ME'

Kuliah merupakan pengalaman yang terpenting saya karena untuk pertama kalinya, saya hidup terpisah dari orang tua.
Saya hidup sendiri. Belajar hidup mandiri.

Dari pertama kali saya menginjakkan kaki di Bandung saya sudah cinta dengan kota ini.

Dingin!

Tahun 1997 sih masih dingin.. bahkan pagi pagi masih ada kabut yang begitu tebal sehingga gedung SABUGA hilang ditelan kabut.

SABUGA adalah singkatan dari Sasana Budaya Ganesha.

Sebuah kompleks fasilitas paling megah yang pernah saya lihat hingga pada saat itu.

Ada lapangan sepakbola yang begitu hijau dikelilingin lintasan lari, kolam renang dengan papan lompat
indah, sejumlah lapangan tenis, sejumlah lapangan basket, dan sebuah gedung megah multiguna.

Dari proses wisuda mahasiswa sampai konser musik dihelat di sana.

Saya ingat waktu pertama kali saya lihat kompleks itu.

Supir saya masih Pak Wito, bersama dengan Ibu saya kami ke Bandung.

Ketika melintasi jalan mata saya tiba-tiba terbelalak melihat kompleks itu yang posisinya lebih rendah dari jalan seperti di bawah lembah.

Saya minta mobil untuk berhenti sebentar di lahan parkiran.

Kami kemudian turun.

Saya berjalan ke ujung bukit dan melihat ke lembah di bawahnya.. menatap fasilitas olahraga yang ada.

Dalam hati saya "Suatu hari gue akan masuk tim basket ITB dan bermain di lapangan itu"
(kelak saya tahu bahwa lapangan itu bisa dipakai umum dan bahkan lapangannya licin karena salah menggunakan jenis cat )

Supir saya bertanya kepada Ibu saya dengan pelan tapi saya tetap mendengar,
"Bu, kalau Mas Pandji nggak masuk ITB gimana jadinya?"
Saya tidak mendengar jawaban ibu saya tapi saya tidak peduli... Saya sedang berangan-angan. Sedang bermimpi.

Pada akhirnya saya masuk tim basket ITB walau kami tidak juara apa-apa selama saya di sana.

Kuliah di ITB (Institut Teknologi Bandung) memberikan sebuah pengalaman baru untuk saya.

ITB betul-betul melting pot.

Dari Sabang sampai Merauke , perwakilan pemuda dan pemudinya ada di sana.

Teman-teman saya beragam suku dan keturunan, dari Irto (Irja Toba, teman saya bermain basket dari Papua yang sangat, sangat lucu) sampai Icut (nama aslinya Cut siapaaa gitu, saya lupa) teman perempuan saya dari Aceh yang selalu kelihatan sibuk dengan segala aktivitasnya.

ITB punya kebanggaan semu yang agak aneh tapi menarik.

Lingkungan dan penilaian sekitar membuat mahasiswa ITB merasa seperti anak-anak terbaik bangsa, isinya mahasiswa pintar yang HARUS punya kepedulian terhadap masyarakat sekitar.

Dari ospek baik ospek gabungan ataupun ospek fakultas dan jurusan kami mendapatkan kesan itu.

Sejujurnya, menurut saya anak ITB tidak lebih cerdas daripada anak-anak di kampus yang lain.

Sama saja.

Perbedaannya mungkin memang ada, tapi lebih kepada fasilitasnya.

Itupun sebenarnya juga sangat relatif, apalagi kalau dibandingkan dengan fasilitas di UPH (Universitas Pelita Harapan) misalnya.

ITB itu yang bagus brandingnya
 
Toh dari dulu saya meyakini ‘
Hard work beats talent, when talent doesn’t work hard’ .

Jadi memang jatuhnya kepada usaha kita masing-masing.

Yang juga menguntungkan dari ITB adalah bahwa beasiswanya teramat sangat banyak.

Saya saja kaget.

Seperti yang sempat saya tulis di atas, begitu banyaknya beasiswa sehingga yang relatif mampu pun bisa dapat.

ITB pun pada jaman saya tidak terhindar dari tawuran antar jurusan.

Kala itu, gara-gara sudah dikondisikan Gonzaga, saya merasa tawuran itu sudah gak jaman dan absurd.

Tapi di fakultas saya, tawuran justru sebuah hiburan.

Kami tidak pernah benar-benar membenci. Kami hanya senang dengan seru-serunya.

Kalau ada tawuran, teman-teman di FSRD sering terjun ke "kancah perang" dengan kostum!

Mukanya benar-benar terlihat garang... tapi pakai kuping-kupingan kelinci!?

Ada lagi yang kalau tawuran kerjanya lari-larian di antara orang yang tawuran tapi sama sekali tidak memukul dan (di sini seninya) sama sekali tidak kena pukul.

Jadi hanya lari-larian saja di antara orang orang yang ramai tawuran.

Saya sama sekali tidak pernah ikutan tawuran.

Saya masuk ke rombongan lapis III.

Hehehe


Di FSRD ada 3 lapisan kalau mau tawuran.

Lapisan pertama yang paling depan dan sok-sok
ngajak berantem.

Lapisan kedua adalah yang sok-sok menahan.

Lapisan ketiga adalah yang ketawa-ketawa sambil nonton adegan lucu itu.

Fakultas saya memang rada aneh.

Kami sering mengumpamakan gedung FSRD sebagai Desa Galia di tengah-tengah jajahan romawi.
Desa riuh ramai yang kadang suka berantem dengan sesamanya tapi kalau ada serangan dari luar kami bersatu dengan begitu kuatnya.

Ospek saya tidak seperti ospek yang lain.

Ospek kami lucu.

Saya dengan suka rela ikut serta karena saya senang.

Saya sering dihukum karena kebanyakan ketawa.

Hukumannya, dibikin ketawa oleh senior.

Lalu kalau saya ketawa lagi, saya dihukum lagi dengan cara yang sama: dibikin ketawa.

Intinya, senior-senior saya senang "tampil".

Anak baru dijadikan penonton karya-karya mereka yang memang saya akui sangat menghibur.

Ospeknya selalu bertema. Selalu lucu. Selalu niat.

Tidak hanya sekedar teriak-teriakan dan bentak-bentakkan. Ada sih kadang kadang, tapi bagi saya sih masih biasa.

FSRD adalah kampus dengan semangat berkesenian yang tinggi.

Dan seniman bukanlah seniman kalau tidak berkarya.

Maka berkarya sangatlah dianjurkan dan didukung di fakultas kami.

Situasi kampusnya dikondisikan agar enak berkarya.

Dengan karya karya kami, maka kampus selalu ramai. Selalu ada acara. Selalu ada kelucuan dan pada akhirnya, selalu ada kisah menarik dan indah untuk diceritakan dan dikenang.

Acaranyapun dinilai dengan sangat demokratis. Kalau acaranya bagus, ramai. Kalau jelek, sepi.

Sudah. Itu saja tolok ukurnya.

Tapi kesederhanaan penilaian itu tidak menyurutkan semangat setiap individu kami untuk berkarya

Terlalu banyak acara acara dan karya teman-teman selama kuliah yang bisa saya ceritakan.

Tidak akan muat masuk buku ini dan juga takutnya akan melenceng.

Intinya adalah, FSRD-lah yang meyakinkan saya bahwa saya bisa dan harus berkarya.

Kami datang dari universitas negeri dengan segala keterbatasan dana.

Tapi dari kuliahpun kami diajarkan untuk melabrak keterbatasan itu.

Uang akan selalu jadi masalah, kalau kita biarkan menjadi masalah, maka uang akan memasung kreativitas kami.

Maka kami selalu mencari jalan lain.

Jalan yang lebih keras, tapi pantas untuk kami ambil.

Gara-gara kampus inilah saya pertama kali belajar menebang pohon bambu dan menggotong bambu dari hutan ke kota demi membawa bahan baku yang kami gunakan untuk membangun sebuah perupaan acara.

Saya kuliah 4.5 tahun dan betapapun saya banyak sedih dan kesal di kampus ini, hari ini kalau saya ingat, saya selalu bahagia masuk kampus tersebut.

  --

Aku , yang terlalu jatuh cinta pada kampus ini.

0 Kommentarer: