Artha Ratu Nauli

An over-thinker. Adventurer.
Graduated as Petroleum engineer.
Super random person you'll ever meet.

January 04, 2014



Allah itu dekat. Maha dekat.
Allah itu

Orang yang bagaimana yang patut dipercaya?





Seseorang tidak dikatakan terpercaya kecuali jika ia takut kepada Allah
- Umar bin al-Khaththab -


January 03, 2014

Gak perlu ngotot untuk jadi diri sendiri, karena yang terpenting adalah jadi baik.

 
pict from tumblr.

Waktu saya masih ABG *iya.Skrg udah gak ABG. Well noted. Fine. Diem kalian semua!* rasanya seriiing sekali mendengar slogan ‘jadi diri sendiri ajah!’. Dan seterusnya saya juga sering mendengar ‘ya, biarin gue begini. Yang penting gue jadi diri sendiri’.
Sekarang semakin saya berfikir, semakin saya bertanya, apakah ‘menjadi diri sendiri’—saja, itu sudah cukup? Apakah itu pilihan terbaik?
Bagaimana kalau diri sendiri-nya saja masih belum baik.
Masihkah akan terus bertahan pada prinsip ‘menjadi diri sendiri’?
Hingga saya simpulkan bahwa, bukan menjadi diri sendiri yang terpenting, tetapi menjadi baiklah yang terpenting. Karena diri sendiri belum tentu sudah baik.
Baik. Sikap yang baik. Perilaku dan kebiasaan yang baik. Hati yang baik. Tutur kata baik. Penampilan baik. Pemikiran baik. Beragama dengan baik.
Kalau awal – awalnya ‘menjadi baik’ itu bukan diri lo, a.k.a ‘gak gue banget ini’, ya ndak apa – apa, hal baik terkadang memang berat untuk dilakukan pada awalnya. Tapi ingatlah bahwa kebaikan itu kekal. Oleh karena itu menurut saya menjadi baik lebih penting, terlepas apakah itu beneran diri sendiri atau bukan. Itu yang namanya melatih diri.
Hidup adalah proses. That's right. Dan yang namanya kebaikan memang kadang tidak ber-parameter. Oleh karena itu gunakan parameter baik, yang sesuai dengan ajaran agama. Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain. Manusia sudah sifatnya terlalu banyak asumsi. Makanya ikuti baik menurut Allah,toh...
First you make habit, then habit makes you.
Mau jadi diri sendiri atau bukan, itu tidak begitu penting, karena yang terpenting pertama adalah, menjadi baik (yang sesuai dengan ajaran agama). 
Lama lama pasti akan terbiasa kok, asal dilakukan dengan konsisten. Setelah terbiasa, maka silahkan jadi diri sendiri, dengan diri yang sudah ter-install kebaikan.
Selamat menjadi baik. Jiwa - jiwa yang baik :)

January 02, 2014

Kenapa Tidak Boleh Mengucakan Selamat Atas Hari Raya Non-Muslim?

pict from tumblr.


Sore ini di kantor, ga sengaja menemukan ini dari sebuah blog , dengan kalimat dan penjelasan yang sangat simple sehingga saya harap cukup mudah dimengerti. Semoga mencerahkan.. Terimakasih kepada kakak pemilik blog, semoga rahmat Allah selalu tercurah padamu... :)

note: no edited.



Bismillahirrahmanirrahim...


Hhmm...baragkali banyak dari kita yang masih bertanya2 sebenarnya bolah ga sih mengucapkan selamat natal kepada teman non muslim? Biar lebih jelasnya simak dialog berikut ….. smga bsa menjadi menjawab pertanyaan kamu...




Ikhwan A : “Qo kamu mengucapkan Selamat hari Natal kepada mereka? Padahal kamu kan muslim?”




Ikhwan B : “Saya ingin berbuat baik kepada mereka. Apalagi mereka bukan kafir harbi (kafir yang memerangi). Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu…” [QS. Al-Mumtahanah: 8].

Ikhwan A : “Kamu telah salah dalam mengambil dalil. Firman Allah tersebut mengenai berbuat baik seperti memberi makan atau menyantuni Non Muslim atau bergaul dengan orang tua yang Non Muslim. Bukan untuk berbuat dosa seperti Syirik dengan mengucapkan Selamat Natal kepada mereka yang merayakan kelahiran Tuhan mereka. Apakah kamu tahu asbabul nuzul ayat tersebut?




Sebab turunnya ayat Al Qur’an di atas adalah sebagai berikut:
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya “Menjalin hubungan dengan orang tua yang musyrik”. Kemudian beliau membawakan riwayat berikut:




Asma’ mengatakan, “Ibuku mendatangiku dan ia sangat ingin aku menyambung hubungan dengannya. Kemudian aku menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bolehkah aku tetap menjalin hubungan dengannya? Beliau pun menjawab, “Iya boleh”.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa setelah itu Allah menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” [QS. Al Mumtahanah [60] : 8]”




Ikhwan B : “Dulu mereka (kaum nasrani) telah mengucapkan selamat kepada saya ketika hari raya Idul Fitri. Nah, ketika hari raya mereka, maka saya membalas kebaikan mereka dengan mengucapkan Selamat hari Natal. Ada dalilnya tentang hal ini. Allah Ta’ala berfirman:
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86).




Ikhwan A : “Tuh kan.. kamu salah lagi dalam mengambil dalil. Sesungguhnya firman Allah tersebut menyangkut dengan ucapan salam: “Assalamu’alaikum”. Bukan ucapan Selamat Natal yang mengandung kemusyrikan. Itu pun ucapan salam di atas berlaku jika pemberinya adalah sesama Muslim, Bukan non Muslim. Jika yang memberi salam Non Muslim, kita cukup menjawab “Wa ‘alaikum”. Sebab kita tidak boleh mendoakan Non Muslim dengan semoga Allah memberimu Keselamatan, Rahmat, dan Keberkahan sementara mereka tidak mau beriman kepada Allah.




Hadits riwayat Anas bin Malik: Rasulullah bersabda: ‘Apabila Ahli Kitab mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah: Wa`alaikum.’ (Shahih Muslim No.4024).




Ikhwan B : “Ah…ini kan masalah sepele, gak usah terlalu dibesar-besarkan. Nanti bisa terjadi perpecahan antar umat beragama.”




Ikhwan A : “Menurut kamu mungkin kecil atau sepele. Tapi bisa jadi di sisi Allah ucapan itu sangat besar akibatnya. Allah Ta’ala berfirman:
“Mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak.’ Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh” [Maryam 88-90].




Bukankah ucapan selamat itu mendukung pemahaman mereka yang menyakini bahwa Allah memiliki anak?




Ikhwan B : “Tapi bukankah ada ulama dan kyai yang membolehkan seorang muslim mengucapkan Selamat Natal kepada non muslim?”




Ikhwan A : “Kita tidak boleh taqlid buta kepada ulama. Jika ulama itu telah keliru, maka jangan diikuti. Seandainya mengucapkan Selamat Natal itu baik, niscaya Nabi dan para sahabat2nya serta para Imam Ahlus Sunnah telah melakukannya, sedangkan mereka hidup di tengah orang2 non muslim.”




Ikhwan B : “Sesungguhnya saya hanya sebatas mengucapkan selamat saja, sedangkan hati saya mengingkari keyakinan mereka. Agar mereka tidak membenci kita, bahkan akan mencintai kita.”




Ikhwan A : “Kalau begitu, bagaimana menurut kamu jika ada orang yang memberikan ucapan selamat kepada orang yang berhasil melakukan korupsi?
Atau mengucapkan selamat kepada orang yang telah berhasil berzina?
Atau mengucapkan selamat kepada maling yang telah berhasil mencuri?
Atau mengucapkan selamat kepada orang yang telah berhasil membunuh orang yang tidak berdosa?
Apakah hal itu dibolehkan menurut kamu?”




Ikhwan B : “Ya jelas tidak boleh. Karena itu sama saja mendukung perbuatan mereka dalam maksiat dan dosa.”




Ikhwan A : “Kalau itu tidak dibolehkan menurut kamu, berarti memberikan ucapan selamat Natal lebih tidak dibolehkan lagi, karena hukumnya jauh lebih besar dari ucapan2 selamat diatas. Perbuatan korupsi, zina, mencuri dan membunuh hanya sebatas dosa maksiat. Adapun merayakan hari Natal adalah termasuk dosa kesyirikan. Sedangkan dosa kesyirikan jauh lebih besar daripada dosa kemaksiatan.”




Ikhwan B : (o_0) … (melotot plus melongo)




Ikhwan A: ^_^ sekarang udah mengerti kan??? 
Ikhwan B: (mengangguk) :">