Saya bingung, kenapa sistem pendidikan membuat masyarakat mengukur
kesuksesan pendidikan itu sendiri dengan strata akademik?
Mengapa
perusahaan-perusahaan besar hanya sangat percaya melanjutkan regenerasi
pada lulusan dengan indeks prestasi yang mentok sempurna?
Kenapa anak
yang sudah bisa membaca saat berumur di bawah 5 tahun, menghapal
perkalian hingga menghapal nama-nama menteri dianggap akan sukses dengan
gemilang sementara anak seumuran yang masih suka memainkan ingus, main
tanah, menyoret dinding, mengotori seluruh rumah, mencekik anak ayam
warna-warni, memutilasi boneka barbie, katakanlah paling positif diberi
apresiasi ala kadarnya seperti :”yah, namanya juga anak-anak“.
Kenapa anak yang biasanya rangking satu, yang biasanya mendapat nilai 10
dalam matematika, menggambar pemandangan lengkap dengan gunung sawah
dan dangau disebut cerdas dan berbakat, lalu anak yang menggambar
sesuatu yang susah didefinisikan dalam bahasa manusia dianggap
bermasalah dalam koordinasi otak dan jari?
Kenapa orang tua dengan
anak-anak yang tidak bisa rangking di kelas selalu berkecil hati dan
merasa menjadi orangtua paling malang tingkat internasional?
Kenapa
pendidikan jadi begitu sempit?
Kenapa pendidikan hanya terdefinisi dalam
dimensi sekolah formal?
kenapa oh kenapa?
padahal pendidikan -katanya-
adalah proses memanusiakan manusia.
Dikutip dari: http://dwiyoshafetriyuna.wordpress.com/
Sebuah pemikiran yang juga sudah sangat lama membanjiri otak saya yang terbatas ini.
0 Kommentarer:
Post a Comment